ArsindoNews – Kapan pandemi Covid-19 ini berakhir? Bergantung intervensi pemerintah dan disiplin warga dalam menjaga jarak. Ikatan Alumni Matematika Universitas Indonesia (UI) telah membuat simulasi dengan beberapa skenario.
Simulasi dilakukan dengan model susceptible, infected, reported and unreported(SIRU).
Salah satu anggota tim penyusun simulasi Covid-19 Barry Mikhael Cavin menuturkan, ada tiga skenario yang disimulasikan.
’’Kami menggunakan data dari 2 Maret hingga 29 Maret dan intervensi kami hitung sejak 1 April,’’ ujarnya. Dari tiga skenario tersebut, Barry memprediksi, skenario dua yang mungkin terjadi. Yakni, pandemi berakhir pada akhir Juni atau awal Juli.
Barry menyatakan, SIRU juga digunakan di Tiongkok. Kelompok peneliti gabungan dari Prancis dan Tiongkok meneliti kasus hingga kurva Covid-19 selesai. Hasilnya, SIRU sangat akurat untuk menggambarkan kondisi jumlah pasien.
Barry menambahkan, jika pemerintah terbuka memaparkan data, pemetaan akan lebih akurat. ’’Kalau di Inggris, pemerintah terbuka dan banyak rekomendasi dari peneliti sehingga sesuai dengan evidence,’’ ujarnya.
Sementara itu, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Doni Monardo dalam rapat dengan Komisi IX DPR pada Jumat lalu menyatakan bahwa bulan ini belum mencapai puncak Covid-19. Menurut skenario yang dikaji Badan Intelijen Negara (BIN), estimasi kasus pada bulan ini mencapai 27.307, sedangkan bulan depan 95.451 kasus. ’’Juni 105.765 kasus dan Juli 106.287 kasus,’’ ujarnya.
Isolasi Mandiri Harus Lapor Puskesmas
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menyatakan, masyarakat yang melakukan isolasi mandiri harus melapor ke puskesmas terdekat. ’’Puskesmas terdekat nanti mengawasi kondisi kesehatan masyarakat yang melakukan isolasi mandiri. Petugas puskesmas sudah tahu apa yang harus dilakukan,’’ ujarnya kemarin (6/4).
Dia menjelaskan, isolasi diri dilakukan oleh orang dalam pemantauan (ODP) yang memiliki ciri-ciri demam atau riwayat demam, batuk, atau pilek; memiliki riwayat perjalanan ke negara yang memiliki transmisi lokal Covid-19; maupun memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di daerah dengan transmisi lokal di Indonesia dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala.
ODP tersebut wajib mengisolasi diri secara sukarela dan tidak meninggalkan rumah selama 14 hari, kecuali ke klinik atau rumah sakit untuk memeriksakan diri. Isolasi mandiri dapat dilakukan di rumah asalkan mengenakan masker, kamar tidur terpisah jika memungkinkan, menjaga jarak fisik dengan anggota keluarga yang lain, serta menggunakan alat makan tersendiri.
’’Keluarga yang memiliki daya tahan tubuh rendah seperti manula, sedang dalam masa pengobatan penyakit kronis (penyakit diabetes/gula, riwayat tumor/kanker), memiliki penyakit autoimun, atau kondisi pernapasan yang tidak prima, perlu diungsikan sementara,’’ katanya.
Yuri menjelaskan, keberhasilan isolasi mandiri tersebut ditentukan beberapa hal. Yakni, tidak ada keluhan dari awal isolasi sampai hari terakhir dan ada keluhan sedikit seperti panas pada awal isolasi, tetapi sembuh setelah isolasi mandiri. Kemudian, jika ada keluhan seperti sesak, demam hingga hari terakhir, isolasi tetap harus dilakukan dan diawasi petugas kesehatan.
Parameter keberhasilan dari isolasi mandiri penanganan Covid-19 adalah tanpa keluhan hingga hari terakhir masa inkubasi terpanjang, yakni 14 hari. ’’Sebagai contoh, apabila seseorang terjangkit Covid-19 tanpa keluhan, kemudian hingga hari terakhir isolasi mandiri ia masih tetap sehat dan tanpa keluhan, maka dapat dikatakan berhasil,’’ ungkapnya.
Kemudian, apabila saat awal terjangkit mengalami sedikit keluhan, misalnya batuk atau demam, kemudian dalam masa inkubasi terpanjang tersebut sembuh, itu juga dikatakan berhasil. ’’Jadi, jika sampai hari terakhir tanpa keluhan, berarti berhasil dalam konteks isolasi diri,’’ katanya.
Birokrasi Panjang PSBB
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang sudah terbit. Namun, tidak berarti langsung ada penerapan di daerah. Pemda harus memastikan betul kesiapannya sebelum pengajuan PSBB disetujui. Tujuannya, saat diterapkan, PSBB bisa benar-benar berjalan efektif.
Hal tersebut disampaikan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo setelah rapat kabinet terbatas virtual bersama Presiden Joko Widodo kemarin (6/4). Dia membenarkan bahwa ada sejumlah daerah yang mulai mengajukan status PSBB kepada Kemenkes. Salah satunya DKI Jakarta. Namun, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum PSBB bisa ditetapkan. Selain data peningkatan jumlah dan persebaran kasus beserta transmisi lokal, ada syarat utama lain yang harus dipenuhi. Yakni, informasi kesiapan daerah dalam melaksanakan PSBB. Mulai ketersediaan kebutuhan hidup dasar, sarana kesehatan, hingga jaring pengaman sosial maupun sektor keamanan.
Faktor kesiapan itu penting agar ketika daerah sudah memulai program PSBB, semuanya berjalan baik. Sebab, akan banyak pembatasan yang dilakukan ketika kebijakan tersebut berlaku. Pembatasan-pembatasan yang saat ini masih berupa imbauan atau seruan akan menjadi larangan resmi. ’’Dalam beberapa hal kemungkinan ada penegakan hukum dari aparat yang berwenang,’’ lanjut Doni.
Di bagian lain, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai peraturan penetapan PSBB memperpanjang proses birokrasi dan memperlambat penanganan Covid-19. Peraturan yang dimaksud adalah Permenkes 9/2020. Permenkes itu mengatur pemda dalam mengajukan permohonan penetapan PSBB. Disebutkan, permohonan pemda harus disertai data peningkatan kasus dan persebaran. Padahal, data itu seharusnya sudah dimiliki Kementerian Kesehatan dan gugus tugas.
Setelah diajukan pun, usulan pemda itu bakal dikaji lebih dulu oleh tim penetapan PSBB. Tim tersebut dibentuk Kemenkes dan beranggota 48 orang lintas instansi, yang berarti memakan waktu lagi untuk melakukan kajian dan menyesuaikan dengan prosedur instansi masing-masing. ”Jalur birokrasi pun menjadi makin panjang,” ungkap Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi.
PSHK mendesak Menkes agar merevisi peraturan tersebut demi memangkas birokrasi penetapan PSBB. Usulan pemda harus dibuat lebih sederhana dan memanfaatkan data persebaran kasus yang sudah dipegang pemerintah pusat tanpa harus menunggu laporan ulang dari daerah. Mereka juga menyarankan agar gugus tugas dijadikan forum koordinasi dan pengambilan keputusan wilayah yang layak dijalankan PSBB atau karantina wilayah, tidak harus melalui tim tambahan lagi.
Untuk menjalankan fungsi itu, perlu ada restrukturisasi yang dilakukan presiden terhadap gugus tugas. Bukan lagi menempatkan kepala BNPB di kursi komando, melainkan Menkes karena sesuai dengan situasi kedaruratan kesehatan. Bukan kedaruratan bencana. ”Sebaiknya gugus tugas dijadikan sebagai forum pengambilan keputusan karena pihak-pihak strategis sudah berkumpul di sana,” lanjutnya.
Pada bagian lain, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Argo Yuwono menuturkan, sesuai dengan PSBB, Kapolri Jenderal Idham Azis telah mengeluarkan maklumat.Penekanannya masih soal kerumunan. Polri akan memberikan peringatan tiga kali. ”Kalau ngeyel, ya dibawa ke polda, sudah ada 18 orang yang dibawa ke Polda Metro,” terangnya. Namun, mereka tidak ditahan. ”Ada juga telegram Kapolri yang ditandatangani Kabareskrim,” terangnya. Hingga kini Polri telah melakukan pembubaran 10.873 kali di seluruh wilayah Indonesia. ”Bahkan, di Jatim juga diminta membuat surat pernyataan tidak mengulangi kerumunan. Ada 3 ribu orang di Jatim yang membuat surat pernyataan tidak mengulangi,” terangnya kemarin.
(Jawapos/AN)